Makalah Teori Birokrasi

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Konsep birokrasi dimunculkan oleh M De Gourney. Melalui surat tertanggal 1 Juli 1764 yang ditulis Baran de Grim, merujuk pada gagasan Gourney yang mengeluh tentang pemerintahan yang melayani dirinya sendiri. De Gourney menyebutkan kecenderungan itu sebagai penyakit yang disebutnya bureaumania.

Ide tentang birokrasi bukan sesuatu yang baru. Merupakan kekeliruan kalau kita mengira konsep ini baru muncul. Keluhan atas pemerintahpun bukan hal baru, yaitu setua usia pemerintahan itu sendiri. Juga, prinsip pemerintah harus dijalankan orang-orang yang baik dan cakap merupakan ide yang sudah lama berkembang di lingkungan filsuf, baik Barat maupun Timur.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana sejarah munculnya konsep birokrasi ?

2.      Apa kedudukan dan posisi birokrasi dalam Negara ?

3.      Bagaimana proses recruitmen birokrasi ?

4.      Apa itu Teori Representatif Bureaucracy ?

 

C.    Tujuan Permasalahan

1.      Dapat mengetahui bagaimana sejarah munculnya konsep birokrasi.

2.      Dapat mengetahui kedudukan dan posisi birokrasi dalam Negara.

3.      Dapat mengetahui bagaimana proses recruitmen birokrasi.

4.      Dapat mengetahui teori representatif bureaucracy.


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.   Sejarah Konsep Birokrasi

Sejak kemunculan gagasan Gourney, istilah birokrasi diadopsi secara luas dalam kamus politik di Eropa selama abad 18. Istilah Perancis, Bureaucratie ini, dengan cepat diadopsi dalam makna yang sama di Jerman dengan sebutan bureaukratie (kemudian menjadi burokratie), di Italia menjadi burocrazia dan Inggris menjadi bureaucracy. Derivasi dari istilah birokrasi juga berkembang secara luar biasa selepas periode de Gourney ini. Muncul istilah birokrat, birokratis, birokratisme, birokratik, dan birokratisasi.

Konsep birokrasi ini meluas ke Inggris melalui terjemahan karya berbahasa Jerman. Karya Gorres ‘Germany And The Revolution’ (1819) diterjemahkan ke Bahasa Inggris dalam dua versi yang berbeda pada 1820. Sementara pada terjemahan surat perjalanan seorang pangeran (1832) menyebutkan, birokrasi telah menggantikan tempat dari aristokrasi dan kemungkinan besar akan segera menjadi sama posisinya. Pada perkembangan selanjutnya, kamus berikutnya mulai menyebutkan istilah ini. Spencer, juga mulai menulisnya di bukunya tentang birokrasi dengan mengacu pada Prancis. Mills dalam karyanya Principal Of Political Economy (1848), menempatkan diri sebagai penentang dari konsentrasi semua keterampilan dan pengalaman serta kekuasaan dari tindakan yang terorganisasi di tangan manajemen kepentingan yang luas. Ia menyebutnya sebagai dominant bureaucracy yang muncul dalam masyarakat Inggris.

Mills menegaskan, kecenderungan itu merupakan a main of the inferior capacity for political life yang menandai karakteristik dari negara yang over governed kala itu. Mills, dalam Considerations On Representative Government (1861) membandingkan , di luar pemerintahan perwakilan maka bentuk pemerintahan yang memiliki keterampilan politik yang tinggi adalah birokrasi. Bahkan birokrasi berjalan dengan nama monarchi atau aristokasi sekali pun. Disini yang profesional. (A. Rahman. I/Sistem Politik Indonesia. Hal 167-168) 

PELAKSANAAN BIROKRASI DI INDONESIA

Sejarah Birokrasi di Indonesia memiliki rapport buruk, khususnya semasa Orde Baru dimana yang menjadikan birokrasi sebagai mesin politik. Imbas dari itu semua, masyarakat harus membayar biaya yang mahal. Ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya, dan ketidakpastian siapa yang bertanggung jawab adalah beberapa fakta empiris rusaknya layanan birokrasi. Lebih dari itu, layanan birokrasi justru menjadi salah

satu causal prima terhadap maraknya korupsi, kolusi, nepotisme. Pejabat politik yang mengisi birokrasi pemerintah sangat dominan. Kondisi ini cukup lama terbangun sehingga membentuk sikap, perilaku, dan opini bahwa pejabat politik dan pejabat birokrat tidak dapat dibedakan.

 

            Mengutip catatan guru besar ilmu politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti mengenai fenomena birokrasi di Indonesia, kewenangan besar dimiliki birokrat sehingga hampir semua aspek kehidupan masyarakat ditangani birokrasi. Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika kemudian birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat.

 

Fenomena itu terjadi karena tradisi birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh praja daripada pamong praja. Bahkan kemudian terjadi politisasi birokrasi. Pada rezim Orde Baru, birokrasi menjadi alat mempertahankan kekuasaan Pasca reformasi pun para pejabat politik yang kini menjabat dalam birokrasi pemerintah ingin melestarikan budaya tersebut dengan mengaburkan antara pejabat karier dengan non karier. Sikap mental seperti ini dapat membawa birokrasi pemerintahan Indonesia kembali kepada kondisi birokrasi pemerintahan pada masa orde baru. Bahkan kemunculan RUU Administrasi Pemerintahan saat ini turut mendapat respond yang cukup agresif dari para pejabat politik melalui fraksi-fraksi di DPR yang berusaha mengakomodasikan kepentingan jabatan politik mereka untuk dapat menduduki jabatan

birokrasi. Birokrasi Indonesia lebih menonjol sebagai pembuat kebijakan dari pada pelaksana kebijakan sehingga dianggap sebagai sumber masalah bukan sumber solusi.

Jatuhnya pemerintahan Orde Baru ternyata diikuti dengan makin rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi publik. Ini akibat buruknya pelayanan birokrasi terhadap masyarakat yang sebagian besar dilakukan pegawai negeri sipil. Ironisnya, ketika era otonomi daerah yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat bergulir menyusul peralihan kekuasaan ke Orde Reformasi, banyak aparat birokrasi justru bersikap sok berkuasa. Selain mereka masih berorientasi pada kekuasaan, birokrasi nya juga dibebani anggaran untuk membiayai dirinya sendiri.

 

Saat ini nilai penting pelayanan pemerintah terhadap publik yang direpresentasikan dengan nilai pelayanan pegawai negeri sipil (PNS) tidak dalam kondisi yang diharapkan. Keluhan masyarakat terhadap buruknya kinerja pemerintah sebagian besar dipengaruhi oleh buruknya kinerja PNS dalam melayani masyarakat. Akibatnya, muncullah krisis kepercayaan terhadap PNS.

Kepentingan penguasa menjadi sentral dari kehidupan dan perilaku birokrasi. Hal ini tercermin dalam proses kebijakan publik, di mana kepentingan penguasa selalu menjadi kriteria yang dominan dan sering kali menggusur kepentingan masyarakat banyak manakala keduanya tidak berjalan bersama-sama. Kesempatan dan ruang yang dimiliki masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan publik amat terbatas. Tidak heran kalau kinerja birokrasi Indonesia kemudian menjadi rendah.

 

Rendahnya kinerja birokrasi ditentukan banyak faktor, baik dari dalam ataupun di luar. Di sisi sejarah perkembangan birokrasi di Indonesia, rendahnya kinerja birokrasi bisa dipahami dari latar belakang dan tujuan pembentukan birokrasi, baik di dalam zaman kerajaan, penjajahan, dan Orde Baru.

Birokrasi sebagai bagian dari sistem sosial, keniscayannya harus ada dan tidak bisa dihilangkan. Pejabat perlu ada untuk melayani masyarakat. Masalahnya, bagaimana birokrasi itu benar-benar berfungsi melayani masyarakat. Kalau rakyat mendapat pelayanan yang tidak baik, rakyat juga jangan larut mengembangkan ketidak baikan itu. Rakyat haruskritis.

 

Penyelenggaraan birokrasi di Indonesia sedang menerapkan konsep good governance dan reinventing government yang secara konseptual seiring dengan demokrasi. Walaupun penerapan konsep tersebut dalam perkembangan dan hasilnya belum memuaskan dan mungkin nyaris gagal, atau masih memerlukan waktu yang cukup panjang. Karena melakukan upaya perubahan “paradigma” tidak mudah, sebab berkaitan dengan sikap mental, latar belakang sosial budaya dan pendidikan. Nilai-nilai tradisional yang selama ini masih mengungkung para aparatur birokrasi berhadapan dengan nilai-nilai modern, memerlukan penyesuaian waktu yang cukup.

 

Namun sesungguhnya di satu pihak demokrasi sebagai sistem nilai dan di lain pihak, dalam birokrasi yang paling strategis adalah aspek aparatur nya, jika aparatur birokrasi telah mampu melakukan perubahan melalui berbagai macam dan jenis pendidikan dan latihan atau upgrading, niscaya tuntutan nilai-nilai demokrasi, dengan sendirinya akan mudah diterima. Sebab hanya dengan melalui pendidikan yang mampu mendorong terhadap perubahan pola pikir seseorang. Artinya perubahan paradigma aparatur birokrasi merupakan faktor yang mutlak menjadi prioritas utama. Pada gilirannya nilai-nilai demokrasi akan menjadi pilihan yang merupakan konsekuensi logis seiring dengan perubahan sistem politik yang demokratis. Oleh karena itu membangun paradigma dengan mendemokrasikan birokrasi, menjadi pilihan yang tidak bisa ditawar, agar konsep reformasi dan transformasi birokrasi dapat berjalan dengan baik, guna membangun kinerja pemerintahan yang profesional dan kompeten, sehingga memberikan harapan kepada masyarakat, tentang peningkatan pelayanan publik yang murah,bermutu, cepat dan nyaman.

Oleh karena itu, seiring dengan program reformasi dan transformasi birokrasi yang telah menjadi komitmen pemerintah, sehingga sebagaimana di negara maju sukses menjalankan konsep reformasi dan transformasi birokrasi tersebut juga didukung oleh kondisi system politik yang demokratis. (A. Rahman. I. Sistem Politik Indonesia.

Hal177-178)

Korupsi yang terjadi pada birokrasi pada umumnya disebut sebagai standard perilaku tersendiri, dengan demikian korupsi didefinisikan sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban formal dari suatu jabatan publik Karena kehendak untuk mencapai keuntungan yang ekonomis atau status bagi diri sendiri (DR. Mohtar Mas’ad. Politik Birokrasi dan Pembangunan)

Dalam pengertian ini sebenarnya korupsi adalah suatu cara untuk menetapkan pengaruh . yaitu seseorang untuk mempengaruhi orang lain atau seseorang yang memegang jabatan agar melakukan apa yang diinginkan oleh orang tersebut, cara lain untuk mempengaruhi tindakan dari pejabat, dengan cara tersebut agar pejabat tersebut dari merugikan suatu bangsa yang ingin dirusaknya, banyak konsekuensi yang diakibatkan dari korupsi misalnya, tidak berdaya nya masyarakat dan pembangunan ekonomi yang tidak merata. Adapun penyebab dari korupsi tersebut:

1.      Adanya tradisi pemberian hadiah, atau semacamnya, yang diberikan kepada pemerintah tindakan tersebut di negara eropa dan amerika dianggap korupsi namun di negara asia tidak sama sekali

2.      Dalam kondisi masyarakat itu sendiri, keluarga di sini sangatlah berperan penting untuk mencegah hal-hal tersebut dapat terjadi

 

B.   Kedudukan dan Posisi Birokrasi dalam Negara

 

Menurut Max Weber birokrasi diartikan sebagai “ideal type organization” yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Adanya pembagian pekerjaan, hubungan kewenangan dan tanggung jawab yang didefinisikan dengan jelas. Kantor diorganisasikan secara hierarkis atau adanya rangkaian komando. Pejabat manajerial dipilih dengan kualifikasi teknis yang ditentukan dengan pendidikan dan ujian. Peraturan dan pengaturan mengarah pada pelaksanaan pekerjaan. Hubungan antar manajer dengan karyawan berbentuk impersonal. Pegawai yang berorientasi pada karier dan mendapatkan gaji yang tepat (Efisiensi).

 

Menurut Weber karakteristik birokrasi dapat diperjelas seperti apa yang sebagai berikut : Lingkup kewenangan berdasarkan pembagian kerja yang sistematis. Pejabat terikat pada disiplin dan pengawasan yang ketat dan sistematis dalam melaksanakan tugas-tugas jabatannya. Semua kegiatan diatur oleh sistem aturan yang sistematis. Jabatan-jabatan mengikuti asas hierarki. Pejabat hanya terikat pada satu tugas formal dan tidak personal. Jabatan diisi berdasarkan terpenuhinya syarat-syarat teknis yang dinyatakan melalui ujian atau ijazah. Pejabat bersangkutan diangkat dan bukan dipilih. Jabatan itu merupakan karier berdasarkan waktu atau kecakapan. Dalam prinsip-prinsip bentuk birokrasi harus terdapat adanya antara lain : Struktur hierarkis formal pada setiap tingkat dan di bawah kontrol dan dikendalikan dalam sebuah hierarki formal atas dasar dari perencanaan pusat dan pengambilan keputusan. Manajemen dengan aturan yang jelas adanya pengendalian melalui aturan yang memungkinkan agar keputusan yang dibuat pada tingkat atas akan dapat dilaksanakan secara konsisten oleh semua tingkat di bawahnya.

Organisasi dengan fungsional yang khusus pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh mereka yang benar merupakan ahli kemudian disusun dalam unit-unit berdasarkan jenis pekerjaan yang akan dilakukan berdasarkan keahlian. Mempunyai sebuah misi target yang akan dituju atau yang sedang dilaksanakan dalam upaya agar tujuan agar organisasi

ini dapat melayani kepentingan yang akan diberdayakan termasuk dalam misi untuk melayani organisasi itu sendiri. kedudukan dan posisi birokrasi di dalam negara sangat dekat dengan masyarakat tapi memang dalam negara banyak terjadi kesalahan dalam

birokrasi adanya politics adanya koordinasi komunikasi yang kurang baik, birokrasi disini memberikan pelayanan dan mengikuti prosedur yang berlaku memang agak kurang baik di negara kita ini, tapi dalam sendi kehidupan bernegara kita hampir setiap hari berjumpa dengan birokrasi baik pemerintah dan nonpemerintah.

 

C.   Recruitment Birokrasi

Pelaksanaan recruitment birokrasi yang terjadi di Indonesia selama ini hanya diperuntukkan oleh orang-orang yang mempunyai uang, dan koneksi/jaringan dengan orang-orang dalam birokrasi tersebut, sedangkan bagi masyarakat yang tidak mempunyai uang sepertinya tidak boleh menduduki jabatan birokrasi. Hal semacam ini sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat, bahwa siapa saja yang ingin menjadi seorang birokrat dan masuk ke dalam sebuah instansi birokrasi maka harus memiliki puluhan juta sampai ratusan juta untuk lolos dalam seleksi tersebut. Sepertinya sepandai apapun dan sebaik apapun prestasinya sangat sulit sekali untuk masuk ke dalam birokrasi kalau tidak mempunyai uang dan koneksi dalam birokrasi tersebut. Hal inilah yang banyak terjadi di Indonesia karena birokrasi Indonesia lebih sering menggunakan sistem patronage dimana menerima seseorang berdasarkan ikatan emosional, koneksi dan lain-lain, sedangkan system merit yang lebih mengedepankan perekrutan dari segi kecerdasan sangat jarang dilakukan oleh birokrasi kita.

 

Sebelum dilaksanakannya proses pelaksanaan recruitment birokrasi maka hal utama yang harus dilakukan adalah proses formasi pegawai. Untuk penyusunan formasi pegawai ini sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 1976 tentang Pokok-Pokok Penyusunan Formasi Pegawai Negeri Sipil untuk mengisi birokrasi pemerintah baik  pusat maupun daerah. Menurut Miftah Thoha (2010) formasi yang dimaksud di sini adalah jumlah dan susunan pangkat pegawai negeri sipil yang diperlukan oleh suatu satuan organisasi Negara untuk mampu melaksanakan tugas pokok untuk jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab dalam bidang penertiban dan penyempurnaan aparatur Negara. Tujuan ditentukan formasi terlebih dahulu maka birokrasi dapat mempunyai jumlah dan mutu pegawai yang cukup sesuai dengan beban kerja yang diperlukan dalam instansi tersebut.

Tujuan penetapan formasi sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 54

tahun 2003 ada beberapa tahapan dan persyaratan diantaranya yaitu:

1.      Dasar Penyusunan Formasi

Pada umumnya dalam penyusunan formasi ada beberapa hal yang harus diperhatikan, sesuai birokrasi yang membutuhkannya diantaranya yaitu:

·         Jenis pekerjaan, yaitu: Macam-macam pekerjaan yang harus dilakukan oleh suatu unit organisasi dalam melaksanakan tugas pokoknya, umpamanya pekerjaan mengetik, jaga malam, mengobati penyakit, dan lain-lain. Jenis-jenis pekerjaan yang ada dalam setiap departemen dan lembaga harus dikumpulkan, dikelompokkan, dan disusun secara sistematis, sehingga mudah dicari apabila diperlukan.

·         Sesudah jenis pekerjaan yang diketahui, maka harus pula diketahui sifat dari masing-masing pekerjaan itu. Dalam menentukan sifat pekerjaan dapat ditinjau dari beberapa sudut, umpamanya dari sudut waktu kerja, sudut pemusatan perhatian, sudut risiko pribadi yang mungkin timbul dalam melaksanakan pekerjaan, dan lain-lain.

·         Perkiraan beban kerja, yaitu frekuensi kegiatan rata-rata dari masing-masing jenis pekerjaan dalam jangka waktu tertentu. Pada umumnya beban kerja itu dapat dibagi dalam beban kerja yang dapat diukur, beban kerja yang sulit diukur, dan beban kerja yang tidak mungkin diukur.

·         Perkiraan kapasitas pegawai, yaitu perkiraan kemampuan ratarata seorang pegawai untuk menyelesaikan suatu jenis pekerjaan dalam jangka waktu tertentu.

·         Kebijaksanaan pelaksanaan pekerjaan, yaitu kebijakan pelaksanaan pekerjaan apakah dilakukan sendiri ataupun diborongkan (outsourcing).

·         Jenjang dan jumlah jabatan dan pangkat yang tersedia dalam suatu organisasi mempunyai pengaruh dalam penyusunan formasi, karena piramida jabatan dan pangkat yang serasi adalah merupakan salah satu syarat mutlak untuk dipelihara oleh suatu organisasi yang baik.

·         Alat yang tersedia atau diperkirakan dalam melaksanakan tugas. Makin tinggi mutu peralatan dan tersedia dalam jumlah yang cukup, dapat mengakibatkan makin sedikit jumlah Pegawai yang diperlukan untuk mengerjakan suatu jenis pekerjaan tertentu. Tetapi makin menghendaki kualitas yang makin tinggi.

2.      Sistem Penyusunan Formasi

Dalam menentukan formasi pada umumnya ada 2 sistem yangbiasanya digunakan yaitu:

·         Sistem sama yakni sistem yang menentukan jumlah dan kualitas yang sama baik semua unit organisasi yang sama, dengan tidak memerhatikan besar kecilnya beban kerja. Sistem ini biasanya digunakan pada organisasi yang sudah distandarisasikan.

·          Sistem ruang lingkup yakni suatu sistem yang menentukan jumlah dan kualitas berdasarkan jenis, sifat, dan beban kerja yang dipikulkan pada unit organisasi itu. Menurut sistem ini, walaupun tingkat satuan organisasi sama, tetapi kalau beban kerjanya berlainan, maka berlainan pula jumlah pegawai yang ditentukan bagi masing-masing unit organisasi itu.

3.      Analisis Kebutuhan Pegawai

Analisis kebutuhan pegawai adalah suatu proses menganalisis secara logis dan teratur untuk dapat mengetahui jumlah dan kualitas pegawai yang diperlukan oleh suatu unit organisasi agar mampu melaksanakan tugasnya serta berdaya guna, berhasil guna, dan berkelangsungan.

4.      Anggaran Belanja Negara

Anggaran Belanja yang dapat disediakan oleh negara sangat menentukan pelaksanaan pemenuhan formasi. Karena, walaupun formasi telah disusun secara tepat berdasarkan norma-norma yang rasional, tetapi akhirnya tetaplah anggaran belanja yang dapat disediakan negara yang menentukan, apakah formasi yang telah disusun itu dapat terpenuhi atau tidak.

 

D.   Teori Representatif Bureaucracy

Birokrasi representatif sebagai birokrasi publik yang menjamin keterwakilan masyarakat dalam birokrasi negara ini menghubungkan antara konsep birokrasi dan demokrasi. Dalam studi administrasi negara, representasi “politik” mengemuka tidak hanya dalam konteks pemilihan pejabat publik melalui serangkaian pemilu. Masalah representasi ini pun kerap mengemuka dalam konteks administrasi negara, khususnya dalam aras ketika mengimplementasikan kebijakan negara oleh birokrasi. Birokrasi, dalam konteks representasi politik, menduduki peran implementator kebijakan negara yang sebelumnya

telah diformulasikan pihak eksekutif maupun legislatif dalam bentuk perundang-undangan.

Studi administrasi publik memiliki signifikansi, terutama setelah terjadi semacam “kejenuhan” masyarakat akan proses demokrasi konvensional semisal Pemilu. “Pemimpin telah kami pilih, lalu bagaimana selanjutnya?” Demikian retorika para pemilih yang sedikit banyak jenuh mendengar janji-janji politik para kandidat. B. Guy Peters menandaskan, kini perhatian publik berpindah dari “input politik” kepada “output politik.” Suatu undang-undang, sebagai misal, adalah hasil dari input politik yang diproduksi legislator yang dipilih dalam Pemilu. Undang-undang menjadi “mati” jika tidak diimplementasi. Hal yang signifikan adalah, bagaimana undang-undang diimplementasi oleh jajaran birokrasi negara?

Dalam membuat prioritas atau bahkan mempromosikan suatu undangundang, birokrat banyak dipengaruhi latar belakang sosialnya. Terlebih, dalam kondisi suatu masyarakat yang plural, sentimen kelompok terkadang menjadi hal yang sensitif. Dukungan publik dalam menerima dan meneruskan suatu implementasi undang-undang di tingkat akar rumput cukup banyak dipengaruhi oleh bagaimana mereka memandang para implementatornya. Birokrat harus menguasai “bahasa” dari public penerima jasa dan layanannya. Sebab itu, birokrasi haruslah representatif.

Masalah birokrasi representatif ini, seperti telah disebutkan di bagian atas, menjadi krusial utamanya di masyarakat dengan tingkat pluralitas tinggi. Suku, ras, etnis, agama, gender, tingkat pendidikan, dan sejenisnya menjadi sejumlah alat ukur penentu keterwakilan masyarakatdi tengah birokrasi publik. Jika hal ini diabaikan, maka kerap birokrasi menjadi “makhluk asing” di tengah masyarakatnya. “Keterasingan birokrasi” misalnya terjadi di kasus Konflik Poso. Dalam studinya tentang akar konflik Poso, George Junus Aditjondro mengemukakan bahwa salah satu hal yang membuat konflik tersebut berlarut-larut adalah akibat semacam insensitivitas birokrasi Kabupaten Poso dalam melakukan rotasi elit birokrasi. Komposisi berimbang antara Kristen dan Islam di Kabupaten Poso membuat telah terjadi kesepakatan “tak tertulis” masyarakat Poso bahwa posisi-posisi birokrasi public memperhatikan pola perimbangan unsur primordial tersebut. Tatkala rotasi stagnan atau berhenti di salah birokrat yang berasal dari salah satu agama, muncul ketidakpuasan di tengah public beragama berbeda. Kendati bukan satu-satunya, Aditjondro menyatakan kemacetan rotasi elit birokrasi tersebut sebagai salah satu penyebab berlarutnya konflik Poso.

 

Birokrasi Representatif

Konsep birokrasi representatif ini dibicarakan dalam konteks pola recruitmen seseorang ke dalam posisi administrasi publik, utamanya pada masalah samanya kesempatan dan keterwakilan suatu populasi penduduk di dalam birokrasi. Jadi, bagaimana birokrasi mewakili karakteristik populasi dalam kaitannya sebagai administrator kebijakan, merupakan pertanyaan dasarnya. Sejumlah skolar menekankan pentingnya merit dalam pola recruitment administrator publik, lainnya menekankan pada pentingnya mengangkat birokrat publik yang unsur sosial dan ekonominya melukiskan karakter masyarakat di suatu wilayah.

Penulis lain semisal Sally Coleman Selden menyinggung masalah pentingnya Birokrasi Representatif ini dalam kaitannya dengan akuntabilitas publik. Selden berargumentasi bahwa pejabat yang terpilih lewat Pemilu akan menduduki jabatan administrator tingkat puncak semisal Presiden, Menteri, Kepala Daerah, yang pada gilirannya mereka mengatur aneka organisasi yang pekerjanya adalah pelayan public (birokrat). Dalam konteks pelayan publik ini terdapat suatu system personil yang aturannya “melindungi” mereka dari tekanan politik. Mereka terhindar dari tekanan politik akibat posisinya diperoleh lewat merit-system (Tes CPNS, misalnya) bukan dipilih lewat Pemilu.

 

Faktor Pendorong Birokrasi Representatif :

 

Birokrasi Representatif menjadi signifikan akibat munculnya sejumlah

faktor pendorong. Faktor-faktor pendorong ini meliputi:

1.      Peningkatan keragaman etnik, rasial, dan gerontology di suatu masyarakat;

2.      Peningkatan keragaman lahan kerja berdasarkan gender;

3.      Perkembangan kesaling bergantungan komunitas global, yang mendorong keragaman pengetahuan, pemahaman, dan apresiasi atas perbedaan manusia, dan;

4.      Peningkatan keragaman teknologi dibalik distribusi barang dan jasa public.

 

Untuk yang pertama, misalnya keragaman etnis harus diantisipasi dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan birokrasi. Birokrat harus memahami pola-pola budaya yang berlangsung di tengah masyarakat. Misalnya, dalam sosialisasi kebijakan pendidikan di wilayah suku Asmat di Papua, birokrat harus memahami struktur budaya dan bahasa yang berkembang di suku tersebut. Orang-orang masih banyak yang cuma mengerti bahasa suku mereka ketimbang bahasa Indonesia. Sebab itu, seorang birokrat harus memahami unsur-unsur budaya tersebut, yang biasanya ada di tangan birokrat yang merupakan bagian dari suku yang bersangkutan. Ini guna menipiskan gap antara birokrat

dengan warga.

Masalah gender di lahan kerja umum merupakan masalah yang cukup krusial. Pekerja pria dan wanita punya karakteristik tersendiri dalam siklus kehidupan mereka. Wanita memiliki kodrat seperti menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Karakteristik semacam ini tidak ada di kalangan pekerja laki-laki. Namun, pekerja perempuan memiliki derajat lebih tinggi pada skill ketelitian dan keuletan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Sebab itu, birokrat publik yang berurusan dengan masalah perburuhan misalnya, harus sensitif akan masalah gender ini dan terkadang, lebih banyak dimiliki oleh birokrat perempuan.

Perkembangan teknologi informasi mendorong terjadinya sejumlah perkembangan baru di tingkat masyarakat berupa semakin intensnya interaksi antar peradaban maupun antar komunal. Semakin bervariasinya aspek sosial masyarakat membuat seorang birokrat harus mengikuti perkembangan tersebut. Mereka harus punya kemampuan untuk membaca keragaman pengetahuan, pemahaman, dan apresiasi atas manusia yang berubah tersebut. Segmen-segmen baru masyarakat, budaya subkultur, budaya komunal, dan perspektif merupakan pointpoint yang harus diadaptasi oleh birokrasi publik.

Selain itu, birokrat pun harus paham teknologi. Mengapa? Kini teknologi distribusi barang dan jasa sudah semakin canggih. Orang sudah bisa melihat kerja-kerja birokrasi melalui website pemerintahan. Distribusi jasa (pengumuman CPNS, lelang pemerintah) sudah bisa diakses secara luas. Ini memunculkan keragaman dalam tafsiran

warganegara atas produk kerja pemerintah.

Sementara itu, terdapat sejumlah keuntungan tatkala Birokrasi Representatif ditarik selaku pertimbangan dalam melakukan recruitment birokrat. Selden mencatat sekurangnya terdapat 5 keuntungan Birokrasi Representatif ini yaitu:

1.      Birokrasi yang merefleksikan keragaman dari populasi akan menghadirkan komitmen simbolis untuk mengakses kekuasaan secara sama. Tatkala seorang anggota dari kelompok masyarakat menjadi pejabat publik, mereka menjadi aktor yang legitimate dalam proses politik dengan kemampuan membentuk kebijakan publik;

2.      Semakin majemuknya entitas pembuat keputusan publik (birokrat) semakin luas pula perspektif yang diambil dalam sebuah proses pembuatan keputusan;

3.      Birokrasi representatif juga berpengaruh pada hal-hal apa yang diprioritaskan dalam sebuah agenda pemerintah. Jika kaum perempuan dan minoritas posisinya meningkat, subyek-subyek dari kepentingan mereka memiliki peluang yang lebih besar untuk diprioritaskan sebagai agenda kerja;

4.      Kelompok yang sebelumnya sedikit terwakili atau belum terwakili akan lebih dekat ikatannya dengan birokrasi pemerintah tatkala keterwakilannya bertambah, dan sebagai hasilnya, mereka akan lebih terbuka untuk bekerja sama dengan kantor-kantor pemerintah; dan

5.      Semakin suatu birokrasi menjadi representatif akan membimbing pada lebih efisiennya penggunaan sumber daya manusia.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Penyelenggaraan birokrasi di Indonesia sedang menerapkan konsep good governance dan reinventing government yang secara konseptual seiring dengan demokrasi. Walaupun penerapan konsep tersebut dalam perkembangan dan hasilnya belum memuaskan dan mungkin nyaris gagal, atau masih memerlukan waktu yang cukup panjang. Karena melakukan upaya perubahan “paradigma” tidak mudah, sebab berkaitan dengan sikap mental, latar belakang sosial budaya dan pendidikan. Nilai-nilai tradisional yang selama ini masih mengungkung para aparatur birokrasi berhadapan dengan nilai-nilai modern, memerlukan penyesuaian waktu yang cukup.

 

 

0 Response to "Makalah Teori Birokrasi "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel