Makalah Teori Birokrasi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep
birokrasi dimunculkan oleh M De Gourney. Melalui surat tertanggal 1 Juli 1764
yang ditulis Baran de Grim, merujuk pada gagasan Gourney yang mengeluh tentang
pemerintahan yang melayani dirinya sendiri. De Gourney menyebutkan
kecenderungan itu sebagai penyakit yang disebutnya bureaumania.
Ide
tentang birokrasi bukan sesuatu yang baru. Merupakan kekeliruan kalau kita
mengira konsep ini baru muncul. Keluhan atas pemerintahpun bukan hal baru,
yaitu setua usia pemerintahan itu sendiri. Juga, prinsip pemerintah harus
dijalankan orang-orang yang baik dan cakap merupakan ide yang sudah lama
berkembang di lingkungan filsuf, baik Barat maupun Timur.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sejarah munculnya konsep birokrasi ?
2. Apa
kedudukan dan posisi birokrasi dalam Negara ?
3. Bagaimana
proses recruitmen birokrasi ?
4. Apa
itu Teori Representatif Bureaucracy ?
C. Tujuan Permasalahan
1. Dapat
mengetahui bagaimana sejarah munculnya konsep birokrasi.
2. Dapat
mengetahui kedudukan dan posisi birokrasi dalam Negara.
3. Dapat
mengetahui bagaimana proses recruitmen birokrasi.
4. Dapat
mengetahui teori representatif bureaucracy.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Konsep Birokrasi
Sejak
kemunculan gagasan Gourney, istilah birokrasi diadopsi secara luas dalam kamus politik
di Eropa selama abad 18. Istilah Perancis, Bureaucratie ini, dengan cepat
diadopsi dalam makna yang sama di Jerman dengan sebutan bureaukratie (kemudian
menjadi burokratie), di Italia menjadi burocrazia dan Inggris menjadi
bureaucracy. Derivasi dari istilah birokrasi juga berkembang secara luar biasa
selepas periode de Gourney ini. Muncul istilah birokrat, birokratis, birokratisme,
birokratik, dan birokratisasi.
Konsep
birokrasi ini meluas ke Inggris melalui terjemahan karya berbahasa Jerman. Karya
Gorres ‘Germany And The Revolution’ (1819) diterjemahkan ke Bahasa Inggris
dalam dua versi yang berbeda pada 1820. Sementara pada terjemahan surat
perjalanan seorang pangeran (1832) menyebutkan, birokrasi telah menggantikan
tempat dari aristokrasi dan kemungkinan besar akan segera menjadi sama posisinya.
Pada perkembangan selanjutnya, kamus berikutnya mulai menyebutkan istilah ini.
Spencer, juga mulai menulisnya di bukunya tentang birokrasi dengan mengacu pada
Prancis. Mills dalam karyanya Principal Of Political Economy (1848), menempatkan
diri sebagai penentang dari konsentrasi semua keterampilan dan pengalaman serta
kekuasaan dari tindakan yang terorganisasi di tangan manajemen kepentingan yang
luas. Ia menyebutnya sebagai dominant bureaucracy yang muncul dalam masyarakat
Inggris.
Mills menegaskan, kecenderungan itu merupakan a main of the inferior capacity for political life yang menandai karakteristik dari negara yang over governed kala itu. Mills, dalam Considerations On Representative Government (1861) membandingkan , di luar pemerintahan perwakilan maka bentuk pemerintahan yang memiliki keterampilan politik yang tinggi adalah birokrasi. Bahkan birokrasi berjalan dengan nama monarchi atau aristokasi sekali pun. Disini yang profesional. (A. Rahman. I/Sistem Politik Indonesia. Hal 167-168)
PELAKSANAAN BIROKRASI DI INDONESIA
Sejarah
Birokrasi di Indonesia memiliki rapport buruk, khususnya semasa Orde Baru
dimana yang menjadikan birokrasi sebagai mesin politik. Imbas dari itu semua,
masyarakat harus membayar biaya yang mahal. Ketidakpastian waktu,
ketidakpastian biaya, dan ketidakpastian siapa yang bertanggung jawab adalah
beberapa fakta empiris rusaknya layanan birokrasi. Lebih dari itu, layanan
birokrasi justru menjadi salah
satu
causal prima terhadap maraknya korupsi, kolusi, nepotisme. Pejabat politik yang
mengisi birokrasi pemerintah sangat dominan. Kondisi ini cukup lama terbangun
sehingga membentuk sikap, perilaku, dan opini bahwa pejabat politik dan pejabat
birokrat tidak dapat dibedakan.
Mengutip catatan guru besar ilmu
politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti mengenai fenomena birokrasi di
Indonesia, kewenangan besar dimiliki birokrat sehingga hampir semua aspek
kehidupan masyarakat ditangani birokrasi. Kewenangan yang terlalu besar itu
bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang
pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat.
Akhirnya, wajar saja jika kemudian birokrasi lebih dianggap sebagai sumber
masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang
dihadapi masyarakat.
Fenomena
itu terjadi karena tradisi birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat penguasa
untuk menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain,
birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh praja daripada pamong praja. Bahkan
kemudian terjadi politisasi birokrasi. Pada rezim Orde Baru, birokrasi menjadi
alat mempertahankan kekuasaan Pasca reformasi pun para pejabat politik yang
kini menjabat dalam birokrasi pemerintah ingin melestarikan budaya tersebut
dengan mengaburkan antara pejabat karier dengan non karier. Sikap mental
seperti ini dapat membawa birokrasi pemerintahan Indonesia kembali kepada
kondisi birokrasi pemerintahan pada masa orde baru. Bahkan kemunculan RUU Administrasi
Pemerintahan saat ini turut mendapat respond yang cukup agresif dari para
pejabat politik melalui fraksi-fraksi di DPR yang berusaha mengakomodasikan kepentingan
jabatan politik mereka untuk dapat menduduki jabatan
birokrasi.
Birokrasi Indonesia lebih menonjol sebagai pembuat kebijakan dari pada
pelaksana kebijakan sehingga dianggap sebagai sumber masalah bukan sumber
solusi.
Jatuhnya
pemerintahan Orde Baru ternyata diikuti dengan makin rendahnya kepercayaan
masyarakat terhadap birokrasi publik. Ini akibat buruknya pelayanan birokrasi
terhadap masyarakat yang sebagian besar dilakukan pegawai negeri sipil.
Ironisnya, ketika era otonomi daerah yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat bergulir menyusul peralihan kekuasaan ke Orde Reformasi, banyak
aparat birokrasi justru bersikap sok berkuasa. Selain mereka masih berorientasi
pada kekuasaan, birokrasi nya juga dibebani anggaran untuk membiayai dirinya
sendiri.
Saat
ini nilai penting pelayanan pemerintah terhadap publik yang direpresentasikan
dengan nilai pelayanan pegawai negeri sipil (PNS) tidak dalam kondisi yang
diharapkan. Keluhan masyarakat terhadap buruknya kinerja pemerintah sebagian
besar dipengaruhi oleh buruknya kinerja PNS dalam melayani masyarakat.
Akibatnya, muncullah krisis kepercayaan terhadap PNS.
Kepentingan
penguasa menjadi sentral dari kehidupan dan perilaku birokrasi. Hal ini
tercermin dalam proses kebijakan publik, di mana kepentingan penguasa selalu
menjadi kriteria yang dominan dan sering kali menggusur kepentingan masyarakat
banyak manakala keduanya tidak berjalan bersama-sama. Kesempatan dan ruang yang
dimiliki masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan publik amat terbatas.
Tidak heran kalau kinerja birokrasi Indonesia kemudian menjadi rendah.
Rendahnya
kinerja birokrasi ditentukan banyak faktor, baik dari dalam ataupun di luar. Di
sisi sejarah perkembangan birokrasi di Indonesia, rendahnya kinerja birokrasi
bisa dipahami dari latar belakang dan tujuan pembentukan birokrasi, baik di
dalam zaman kerajaan, penjajahan, dan Orde Baru.
Birokrasi
sebagai bagian dari sistem sosial, keniscayannya harus ada dan tidak bisa
dihilangkan. Pejabat perlu ada untuk melayani masyarakat. Masalahnya, bagaimana
birokrasi itu benar-benar berfungsi melayani masyarakat. Kalau rakyat mendapat
pelayanan yang tidak baik, rakyat juga jangan larut mengembangkan ketidak
baikan itu. Rakyat haruskritis.
Penyelenggaraan
birokrasi di Indonesia sedang menerapkan konsep good governance dan reinventing
government yang secara konseptual seiring dengan demokrasi. Walaupun penerapan
konsep tersebut dalam perkembangan dan hasilnya belum memuaskan dan mungkin
nyaris gagal, atau masih memerlukan waktu yang cukup panjang. Karena melakukan
upaya perubahan “paradigma” tidak mudah, sebab berkaitan dengan sikap mental,
latar belakang sosial budaya dan pendidikan. Nilai-nilai tradisional yang
selama ini masih mengungkung para aparatur birokrasi berhadapan dengan
nilai-nilai modern, memerlukan penyesuaian waktu yang cukup.
Namun
sesungguhnya di satu pihak demokrasi sebagai sistem nilai dan di lain pihak,
dalam birokrasi yang paling strategis adalah aspek aparatur nya, jika aparatur
birokrasi telah mampu melakukan perubahan melalui berbagai macam dan jenis
pendidikan dan latihan atau upgrading, niscaya tuntutan nilai-nilai demokrasi,
dengan sendirinya akan mudah diterima. Sebab hanya dengan melalui pendidikan
yang mampu mendorong terhadap perubahan pola pikir seseorang. Artinya perubahan
paradigma aparatur birokrasi merupakan faktor yang mutlak menjadi prioritas
utama. Pada gilirannya nilai-nilai demokrasi akan menjadi pilihan yang
merupakan konsekuensi logis seiring dengan perubahan sistem politik yang
demokratis. Oleh karena itu membangun paradigma dengan mendemokrasikan
birokrasi, menjadi pilihan yang tidak bisa ditawar, agar konsep reformasi dan
transformasi birokrasi dapat berjalan dengan baik, guna membangun kinerja
pemerintahan yang profesional dan kompeten, sehingga memberikan harapan kepada masyarakat,
tentang peningkatan pelayanan publik yang murah,bermutu, cepat dan nyaman.
Oleh
karena itu, seiring dengan program reformasi dan transformasi birokrasi yang
telah menjadi komitmen pemerintah, sehingga sebagaimana di negara maju sukses
menjalankan konsep reformasi dan transformasi birokrasi tersebut juga didukung
oleh kondisi system politik yang demokratis. (A. Rahman. I. Sistem Politik
Indonesia.
Hal177-178)
Korupsi
yang terjadi pada birokrasi pada umumnya disebut sebagai standard perilaku
tersendiri, dengan demikian korupsi didefinisikan sebagai perilaku yang
menyimpang dari kewajiban formal dari suatu jabatan publik Karena kehendak
untuk mencapai keuntungan yang ekonomis atau status bagi diri sendiri (DR.
Mohtar Mas’ad. Politik Birokrasi dan Pembangunan)
Dalam
pengertian ini sebenarnya korupsi adalah suatu cara untuk menetapkan pengaruh .
yaitu seseorang untuk mempengaruhi orang lain atau seseorang yang memegang
jabatan agar melakukan apa yang diinginkan oleh orang tersebut, cara lain untuk
mempengaruhi tindakan dari pejabat, dengan cara tersebut agar pejabat tersebut
dari merugikan suatu bangsa yang ingin dirusaknya, banyak konsekuensi yang diakibatkan
dari korupsi misalnya, tidak berdaya nya masyarakat dan pembangunan ekonomi
yang tidak merata. Adapun penyebab dari korupsi tersebut:
1. Adanya
tradisi pemberian hadiah, atau semacamnya, yang diberikan kepada pemerintah
tindakan tersebut di negara eropa dan amerika dianggap korupsi namun di negara
asia tidak sama sekali
2. Dalam
kondisi masyarakat itu sendiri, keluarga di sini sangatlah berperan penting
untuk mencegah hal-hal tersebut dapat terjadi
B.
Kedudukan dan Posisi Birokrasi dalam Negara
Menurut
Max Weber birokrasi diartikan sebagai “ideal type organization” yang mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut: Adanya pembagian pekerjaan, hubungan kewenangan dan
tanggung jawab yang didefinisikan dengan jelas. Kantor diorganisasikan secara
hierarkis atau adanya rangkaian komando. Pejabat manajerial dipilih dengan kualifikasi
teknis yang ditentukan dengan pendidikan dan ujian. Peraturan dan pengaturan
mengarah pada pelaksanaan pekerjaan. Hubungan antar manajer dengan karyawan
berbentuk impersonal. Pegawai yang berorientasi pada karier dan mendapatkan
gaji yang tepat (Efisiensi).
Menurut
Weber karakteristik birokrasi dapat diperjelas seperti apa yang sebagai berikut
: Lingkup kewenangan berdasarkan pembagian kerja yang sistematis. Pejabat
terikat pada disiplin dan pengawasan yang ketat dan sistematis dalam
melaksanakan tugas-tugas jabatannya. Semua kegiatan diatur oleh sistem aturan
yang sistematis. Jabatan-jabatan mengikuti asas hierarki. Pejabat hanya terikat
pada satu tugas formal dan tidak personal. Jabatan diisi berdasarkan
terpenuhinya syarat-syarat teknis yang dinyatakan melalui ujian atau ijazah.
Pejabat bersangkutan diangkat dan bukan dipilih. Jabatan itu merupakan karier
berdasarkan waktu atau kecakapan. Dalam prinsip-prinsip bentuk birokrasi harus terdapat
adanya antara lain : Struktur hierarkis formal pada setiap tingkat dan di bawah
kontrol dan dikendalikan dalam sebuah hierarki formal atas dasar dari
perencanaan pusat dan pengambilan keputusan. Manajemen dengan aturan yang jelas
adanya pengendalian melalui aturan yang memungkinkan agar keputusan yang dibuat
pada tingkat atas akan dapat dilaksanakan secara konsisten oleh semua tingkat
di bawahnya.
Organisasi
dengan fungsional yang khusus pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh mereka
yang benar merupakan ahli kemudian disusun dalam unit-unit berdasarkan jenis
pekerjaan yang akan dilakukan berdasarkan keahlian. Mempunyai sebuah misi
target yang akan dituju atau yang sedang dilaksanakan dalam upaya agar tujuan
agar organisasi
ini
dapat melayani kepentingan yang akan diberdayakan termasuk dalam misi untuk
melayani organisasi itu sendiri. kedudukan dan posisi birokrasi di dalam negara
sangat dekat dengan masyarakat tapi memang dalam negara banyak terjadi
kesalahan dalam
birokrasi
adanya politics adanya koordinasi komunikasi yang kurang baik, birokrasi disini
memberikan pelayanan dan mengikuti prosedur yang berlaku memang agak kurang
baik di negara kita ini, tapi dalam sendi kehidupan bernegara kita hampir
setiap hari berjumpa dengan birokrasi baik pemerintah dan nonpemerintah.
C.
Recruitment Birokrasi
Pelaksanaan
recruitment birokrasi yang terjadi di Indonesia selama ini hanya diperuntukkan
oleh orang-orang yang mempunyai uang, dan koneksi/jaringan dengan orang-orang
dalam birokrasi tersebut, sedangkan bagi masyarakat yang tidak mempunyai uang
sepertinya tidak boleh menduduki jabatan birokrasi. Hal semacam ini sudah
menjadi rahasia umum bagi masyarakat, bahwa siapa saja yang ingin menjadi seorang
birokrat dan masuk ke dalam sebuah instansi birokrasi maka harus memiliki
puluhan juta sampai ratusan juta untuk lolos dalam seleksi tersebut. Sepertinya
sepandai apapun dan sebaik apapun prestasinya sangat sulit sekali untuk masuk
ke dalam birokrasi kalau tidak mempunyai uang dan koneksi dalam birokrasi
tersebut. Hal inilah yang banyak terjadi di Indonesia karena birokrasi
Indonesia lebih sering menggunakan sistem patronage dimana menerima seseorang berdasarkan
ikatan emosional, koneksi dan lain-lain, sedangkan system merit yang lebih
mengedepankan perekrutan dari segi kecerdasan sangat jarang dilakukan oleh
birokrasi kita.
Sebelum
dilaksanakannya proses pelaksanaan recruitment birokrasi maka hal utama yang
harus dilakukan adalah proses formasi pegawai. Untuk penyusunan formasi pegawai
ini sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 1976 tentang
Pokok-Pokok Penyusunan Formasi Pegawai Negeri Sipil untuk mengisi birokrasi
pemerintah baik pusat maupun daerah.
Menurut Miftah Thoha (2010) formasi yang dimaksud di sini adalah jumlah dan
susunan pangkat pegawai negeri sipil yang diperlukan oleh suatu satuan
organisasi Negara untuk mampu melaksanakan tugas pokok untuk jangka waktu tertentu
yang ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab dalam bidang penertiban dan
penyempurnaan aparatur Negara. Tujuan ditentukan formasi terlebih dahulu maka
birokrasi dapat mempunyai jumlah dan mutu pegawai yang cukup sesuai dengan
beban kerja yang diperlukan dalam instansi tersebut.
Tujuan
penetapan formasi sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 54
tahun
2003 ada beberapa tahapan dan persyaratan diantaranya yaitu:
1. Dasar
Penyusunan Formasi
Pada umumnya dalam penyusunan formasi
ada beberapa hal yang harus diperhatikan, sesuai birokrasi yang membutuhkannya diantaranya
yaitu:
·
Jenis pekerjaan, yaitu: Macam-macam
pekerjaan yang harus dilakukan oleh suatu unit organisasi dalam melaksanakan
tugas pokoknya, umpamanya pekerjaan mengetik, jaga malam, mengobati penyakit,
dan lain-lain. Jenis-jenis pekerjaan yang ada dalam setiap departemen dan
lembaga harus dikumpulkan, dikelompokkan, dan disusun secara sistematis,
sehingga mudah dicari apabila diperlukan.
·
Sesudah jenis pekerjaan yang diketahui,
maka harus pula diketahui sifat dari masing-masing pekerjaan itu. Dalam menentukan
sifat pekerjaan dapat ditinjau dari beberapa sudut, umpamanya dari sudut waktu
kerja, sudut pemusatan perhatian, sudut risiko pribadi yang mungkin timbul
dalam melaksanakan pekerjaan, dan lain-lain.
·
Perkiraan beban kerja, yaitu frekuensi
kegiatan rata-rata dari masing-masing jenis pekerjaan dalam jangka waktu
tertentu. Pada umumnya beban kerja itu dapat dibagi dalam beban kerja yang dapat
diukur, beban kerja yang sulit diukur, dan beban kerja yang tidak mungkin
diukur.
·
Perkiraan kapasitas pegawai, yaitu
perkiraan kemampuan ratarata seorang pegawai untuk menyelesaikan suatu jenis
pekerjaan dalam jangka waktu tertentu.
·
Kebijaksanaan pelaksanaan pekerjaan,
yaitu kebijakan pelaksanaan pekerjaan apakah dilakukan sendiri ataupun diborongkan
(outsourcing).
·
Jenjang dan jumlah jabatan dan pangkat
yang tersedia dalam suatu organisasi mempunyai pengaruh dalam penyusunan formasi,
karena piramida jabatan dan pangkat yang serasi adalah merupakan salah satu syarat
mutlak untuk dipelihara oleh suatu organisasi yang baik.
·
Alat yang tersedia atau diperkirakan
dalam melaksanakan tugas. Makin tinggi mutu peralatan dan tersedia dalam jumlah
yang cukup, dapat mengakibatkan makin sedikit jumlah Pegawai yang diperlukan
untuk mengerjakan suatu jenis pekerjaan tertentu. Tetapi makin menghendaki
kualitas yang makin tinggi.
2. Sistem
Penyusunan Formasi
Dalam menentukan formasi pada umumnya
ada 2 sistem yangbiasanya digunakan yaitu:
·
Sistem sama yakni sistem yang menentukan
jumlah dan kualitas yang sama baik semua unit organisasi yang sama, dengan
tidak memerhatikan besar kecilnya beban kerja. Sistem ini biasanya digunakan
pada organisasi yang sudah distandarisasikan.
·
Sistem ruang lingkup yakni suatu sistem yang
menentukan jumlah dan kualitas berdasarkan jenis, sifat, dan beban kerja yang dipikulkan
pada unit organisasi itu. Menurut sistem ini, walaupun tingkat satuan
organisasi sama, tetapi kalau beban kerjanya berlainan, maka berlainan pula
jumlah pegawai yang ditentukan bagi masing-masing unit organisasi itu.
3. Analisis
Kebutuhan Pegawai
Analisis kebutuhan pegawai adalah suatu
proses menganalisis secara logis dan teratur untuk dapat mengetahui jumlah dan
kualitas pegawai yang diperlukan oleh suatu unit organisasi agar mampu melaksanakan
tugasnya serta berdaya guna, berhasil guna, dan berkelangsungan.
4. Anggaran
Belanja Negara
Anggaran Belanja yang dapat disediakan
oleh negara sangat menentukan pelaksanaan pemenuhan formasi. Karena, walaupun formasi
telah disusun secara tepat berdasarkan norma-norma yang rasional, tetapi
akhirnya tetaplah anggaran belanja yang dapat disediakan negara yang
menentukan, apakah formasi yang telah disusun itu dapat terpenuhi atau tidak.
D.
Teori Representatif Bureaucracy
Birokrasi
representatif sebagai birokrasi publik yang menjamin keterwakilan masyarakat
dalam birokrasi negara ini menghubungkan antara konsep birokrasi dan demokrasi.
Dalam studi administrasi negara, representasi “politik” mengemuka tidak hanya
dalam konteks pemilihan pejabat publik melalui serangkaian pemilu. Masalah representasi
ini pun kerap mengemuka dalam konteks administrasi negara, khususnya dalam aras
ketika mengimplementasikan kebijakan negara oleh birokrasi. Birokrasi, dalam
konteks representasi politik, menduduki peran implementator kebijakan negara
yang sebelumnya
telah
diformulasikan pihak eksekutif maupun legislatif dalam bentuk perundang-undangan.
Studi
administrasi publik memiliki signifikansi, terutama setelah terjadi semacam
“kejenuhan” masyarakat akan proses demokrasi konvensional semisal Pemilu.
“Pemimpin telah kami pilih, lalu bagaimana selanjutnya?” Demikian retorika para
pemilih yang sedikit banyak jenuh mendengar janji-janji politik para kandidat.
B. Guy Peters menandaskan, kini perhatian publik berpindah dari “input politik”
kepada “output politik.” Suatu undang-undang, sebagai misal, adalah hasil dari
input politik yang diproduksi legislator yang dipilih dalam Pemilu.
Undang-undang menjadi “mati” jika tidak diimplementasi. Hal yang signifikan
adalah, bagaimana undang-undang diimplementasi oleh jajaran birokrasi negara?
Dalam
membuat prioritas atau bahkan mempromosikan suatu undangundang, birokrat banyak
dipengaruhi latar belakang sosialnya. Terlebih, dalam kondisi suatu masyarakat
yang plural, sentimen kelompok terkadang menjadi hal yang sensitif. Dukungan
publik dalam menerima dan meneruskan suatu implementasi undang-undang di
tingkat akar rumput cukup banyak dipengaruhi oleh bagaimana mereka memandang para
implementatornya. Birokrat harus menguasai “bahasa” dari public penerima jasa
dan layanannya. Sebab itu, birokrasi haruslah representatif.
Masalah
birokrasi representatif ini, seperti telah disebutkan di bagian atas, menjadi
krusial utamanya di masyarakat dengan tingkat pluralitas tinggi. Suku, ras,
etnis, agama, gender, tingkat pendidikan, dan sejenisnya menjadi sejumlah alat
ukur penentu keterwakilan masyarakatdi tengah birokrasi publik. Jika hal ini diabaikan,
maka kerap birokrasi menjadi “makhluk asing” di tengah masyarakatnya. “Keterasingan
birokrasi” misalnya terjadi di kasus Konflik Poso. Dalam studinya tentang akar
konflik Poso, George Junus Aditjondro mengemukakan bahwa salah satu hal yang
membuat konflik tersebut berlarut-larut adalah akibat semacam insensitivitas
birokrasi Kabupaten Poso dalam melakukan rotasi elit birokrasi. Komposisi
berimbang antara Kristen dan Islam di Kabupaten Poso membuat telah terjadi kesepakatan
“tak tertulis” masyarakat Poso bahwa posisi-posisi birokrasi public
memperhatikan pola perimbangan unsur primordial tersebut. Tatkala rotasi
stagnan atau berhenti di salah birokrat yang berasal dari salah satu agama,
muncul ketidakpuasan di tengah public beragama berbeda. Kendati bukan
satu-satunya, Aditjondro menyatakan kemacetan rotasi elit birokrasi tersebut
sebagai salah satu penyebab berlarutnya konflik Poso.
Birokrasi Representatif
Konsep
birokrasi representatif ini dibicarakan dalam konteks pola recruitmen seseorang
ke dalam posisi administrasi publik, utamanya pada masalah samanya kesempatan
dan keterwakilan suatu populasi penduduk di dalam birokrasi. Jadi, bagaimana
birokrasi mewakili karakteristik populasi dalam kaitannya sebagai administrator
kebijakan, merupakan pertanyaan dasarnya. Sejumlah skolar menekankan pentingnya
merit dalam pola recruitment administrator publik, lainnya menekankan pada
pentingnya mengangkat birokrat publik yang unsur sosial dan ekonominya
melukiskan karakter masyarakat di suatu wilayah.
Penulis
lain semisal Sally Coleman Selden menyinggung masalah pentingnya Birokrasi
Representatif ini dalam kaitannya dengan akuntabilitas publik. Selden
berargumentasi bahwa pejabat yang terpilih lewat Pemilu akan menduduki jabatan
administrator tingkat puncak semisal Presiden, Menteri, Kepala Daerah, yang
pada gilirannya mereka mengatur aneka organisasi yang pekerjanya adalah pelayan
public (birokrat). Dalam konteks pelayan publik ini terdapat suatu system personil
yang aturannya “melindungi” mereka dari tekanan politik. Mereka terhindar dari
tekanan politik akibat posisinya diperoleh lewat merit-system (Tes CPNS, misalnya)
bukan dipilih lewat Pemilu.
Faktor Pendorong Birokrasi
Representatif :
Birokrasi
Representatif menjadi signifikan akibat munculnya sejumlah
faktor
pendorong. Faktor-faktor pendorong ini meliputi:
1. Peningkatan
keragaman etnik, rasial, dan gerontology di suatu masyarakat;
2. Peningkatan
keragaman lahan kerja berdasarkan gender;
3. Perkembangan
kesaling bergantungan komunitas global, yang mendorong keragaman pengetahuan,
pemahaman, dan apresiasi atas perbedaan manusia, dan;
4. Peningkatan
keragaman teknologi dibalik distribusi barang dan jasa public.
Untuk
yang pertama, misalnya keragaman etnis harus diantisipasi dalam perumusan
kebijakan dan pengambilan keputusan birokrasi. Birokrat harus memahami
pola-pola budaya yang berlangsung di tengah masyarakat. Misalnya, dalam
sosialisasi kebijakan pendidikan di wilayah suku Asmat di Papua, birokrat harus
memahami struktur budaya dan bahasa yang berkembang di suku tersebut.
Orang-orang masih banyak yang cuma mengerti bahasa suku mereka ketimbang bahasa
Indonesia. Sebab itu, seorang birokrat harus memahami unsur-unsur budaya tersebut,
yang biasanya ada di tangan birokrat yang merupakan bagian dari suku yang
bersangkutan. Ini guna menipiskan gap antara birokrat
dengan
warga.
Masalah
gender di lahan kerja umum merupakan masalah yang cukup krusial. Pekerja pria
dan wanita punya karakteristik tersendiri dalam siklus kehidupan mereka. Wanita
memiliki kodrat seperti menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui.
Karakteristik semacam ini tidak ada di kalangan pekerja laki-laki. Namun,
pekerja perempuan memiliki derajat lebih tinggi pada skill ketelitian dan
keuletan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Sebab itu, birokrat publik yang berurusan
dengan masalah perburuhan misalnya, harus sensitif akan masalah gender ini dan
terkadang, lebih banyak dimiliki oleh birokrat perempuan.
Perkembangan
teknologi informasi mendorong terjadinya sejumlah perkembangan baru di tingkat
masyarakat berupa semakin intensnya interaksi antar peradaban maupun antar
komunal. Semakin bervariasinya aspek sosial masyarakat membuat seorang birokrat
harus mengikuti perkembangan tersebut. Mereka harus punya kemampuan untuk
membaca keragaman pengetahuan, pemahaman, dan apresiasi atas manusia yang
berubah tersebut. Segmen-segmen baru masyarakat, budaya subkultur, budaya
komunal, dan perspektif merupakan pointpoint yang harus diadaptasi oleh
birokrasi publik.
Selain
itu, birokrat pun harus paham teknologi. Mengapa? Kini teknologi distribusi
barang dan jasa sudah semakin canggih. Orang sudah bisa melihat kerja-kerja birokrasi
melalui website pemerintahan. Distribusi jasa (pengumuman CPNS, lelang
pemerintah) sudah bisa diakses secara luas. Ini memunculkan keragaman dalam
tafsiran
warganegara
atas produk kerja pemerintah.
Sementara
itu, terdapat sejumlah keuntungan tatkala Birokrasi Representatif ditarik
selaku pertimbangan dalam melakukan recruitment birokrat. Selden mencatat
sekurangnya terdapat 5 keuntungan Birokrasi Representatif ini yaitu:
1. Birokrasi
yang merefleksikan keragaman dari populasi akan menghadirkan komitmen simbolis
untuk mengakses kekuasaan secara sama. Tatkala seorang anggota dari kelompok
masyarakat menjadi pejabat publik, mereka menjadi aktor yang legitimate dalam proses
politik dengan kemampuan membentuk kebijakan publik;
2. Semakin
majemuknya entitas pembuat keputusan publik (birokrat) semakin luas pula
perspektif yang diambil dalam sebuah proses pembuatan keputusan;
3. Birokrasi
representatif juga berpengaruh pada hal-hal apa yang diprioritaskan dalam
sebuah agenda pemerintah. Jika kaum perempuan dan minoritas posisinya
meningkat, subyek-subyek dari kepentingan mereka memiliki peluang yang lebih
besar untuk diprioritaskan sebagai agenda kerja;
4. Kelompok
yang sebelumnya sedikit terwakili atau belum terwakili akan lebih dekat
ikatannya dengan birokrasi pemerintah tatkala keterwakilannya bertambah, dan
sebagai hasilnya, mereka akan lebih terbuka untuk bekerja sama dengan
kantor-kantor pemerintah; dan
5. Semakin
suatu birokrasi menjadi representatif akan membimbing pada lebih efisiennya
penggunaan sumber daya manusia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Penyelenggaraan
birokrasi di Indonesia sedang menerapkan konsep good governance dan reinventing
government yang secara konseptual seiring dengan demokrasi. Walaupun penerapan
konsep tersebut dalam perkembangan dan hasilnya belum memuaskan dan mungkin
nyaris gagal, atau masih memerlukan waktu yang cukup panjang. Karena melakukan
upaya perubahan “paradigma” tidak mudah, sebab berkaitan dengan sikap mental,
latar belakang sosial budaya dan pendidikan. Nilai-nilai tradisional yang
selama ini masih mengungkung para aparatur birokrasi berhadapan dengan
nilai-nilai modern, memerlukan penyesuaian waktu yang cukup.
0 Response to "Makalah Teori Birokrasi "
Posting Komentar